Catatan Perjalanan :
Musim
Panas Di Arizona
4.
Wisata Tambang Di Kota Hantu
Minggu
pagi, 6 Agustus 2000, sekitar jam 10:00 saya meninggalkan kota
Tempe menuju ke arah timur lalu berbelok ke utara. Hari itu saya
merencanakan untuk menyusuri rute Apache Trail dari arah barat
melalui daerah pegunungan Superstition.
Negara
bagian Arizona adalah satu dari beberapa negara bagian di Amerika
yang buminya kaya akan bahan mineral sebagai sumber bahan
tambang. Menurut sejarahnya di Arizona ini banyak terdapat
bekas-bekas lokasi tambang (terutama emas, perak dan tembaga)
yang sebagian diantaranya masih beroperasi hingga kini, baik
berskala besar (korporasi) maupun kecil (tambang rakyat). Satu
diantara lokasi-lokasi pertambangan itu adalah daerah di sekitar
pegunungan Superstition. Di sisi sebelah barat laut dari
pegunungan ini ada satu dataran tinggi yang disebut Goldfield
(ladang emas).
Sejak
pertama kali emas diketemukan di daerah ini sekitar tahun 1891,
segera kabar itu menyebar dan para pencari emas pun berdatangan
mengadu untung. Dalam waktu yang singkat Goldfield serta merta
menjadi sebuah kota yang populasinya mencapai sekitar 5.000-an.
Sebuah lonjakan angka yang cukup fantastis untuk ukuran
desa-nya Amerika. Itu terjadi hanya dalam periode
lima tahunan yang kaya dengan emas, dimana saat itu ada sekitar
50 tambang beroperasi. Itulah masa kejayaan Goldfield di periode
tahun 1890-an.
Jaman
keemasan Amerika berlangsung tidak lama, booming
emas segera berakhir di penghujung abad ke-19. Demikian halnya
yang terjadi di Goldfield, urat bijih (vein) tidak lagi
menghasilkan banyak emas, kadar bijihnya (grade) menurun, dan
kota Goldfield pun lalu mati perlahan-lahan. Setelah berbagai
upaya dilakukan orang untuk membuka kembali usaha pertambangan,
akhirnya menampakkan tanda-tanda kehidupann di tahun 1910, namun
kemudian pudar lagi tahun 1926.
Kini
masa kejayaan ladang emas itu pun tinggal kenangan masa lalu,
meninggalkan bekas kota tambang yang dijuluki kota hantu (the
ghost town) karena ditinggal penghuninya. Kenangan ini ternyata
menjadi kebanggaan masyarakatnya kini.
***
Mengawali
perjalanan untuk menyusuri rute Apache Trail, saya tiba di salah
satu lokasi yang tampak dari jauh seperti kota koboi. Tertarik
untuk mengetahui tentang bekas sebuah kota ini, maka saya
berbelok menuju ke tempat parkir melewati di bawah sebuah
struktur besi tua yang ternyata bekas sebuah rangka utama
(headframe) sumuran tambang.
Saya
lanjutkan berjalan kaki, dalam cuaca yang sangat panas dan tanpa
ada pohon pelindung di sekitarnya, saya menuju ke arah
bangunan-bangunan yang tampak tua khas bangunan kota kuno di
Amerika. Pemandangan ini mengingatkan saya akan kenampakan kota
kuno seperti yang sering menjadi setting film-film koboi.
Memandang
ke depan ke seberang jalan dari tempat ini tampak pegunungan
Superstition yang berprofil aneh seperti tumpukan
bongkahan-bongkahan batuan monolitikum raksasa, menjulang lebih
900 meter di atas lantai dataran gurun di sekitarnya. Kenampakan
seperti ini mendominasi di sepanjang sisi sebelah timur dari
areal lembah Salt River. Pegunungan Superstition sendiri
sebenarnya hanya bagian dari keseluruhan daerah Superstition yang
luasnya hampir 65.000 ha dengan puncak gunung tertingginya lebih
1.800 m dengan beberapa lembah berada di antaranya.
Saya
melanjutkan berjalan berkeliling, lalu tiba di lokasi yang
menawarkan wisata tambang (mine tour). Saya lihat ada sekitar 15
orang sudah siap mengikuti wisata. Saya tolah-toleh, di situ
hanya ada dua orang petugas yang saya taksir usia keduanya di
atas 50-an. Seorang menjual karcis dan seorang lagi sebagai
pemandu wisata. Saya datangi si penjual karcis lalu saya tanyakan
berapa lama kira-kira wisata tambang ini akan memakan waktu.
Dijawabnya sekitar setengah jam.
Saya
bisa membayangkan kira-kira apa yang bakal dapat dilihat dalam
waktu setengah jam. Tidak ada yang menarik, pikir saya.
Rasa-rasanya tambang bawah tanah peninggalan Belanda di Lebong
Tandai, Bengkulu sana, tempat saya pernah bekerja dulu, akan
lebih menarik ketimbang tempat ini. Tetapi bukan alasan itu yang
membuat saya kemudian berubah pikiran. Ada yang lebih ingin saya
ketahui : Apa sih yang sedang mereka jual dan
bagaimana cara mereka menjualnya, sehingga
orang-orang itu yang diantaranya bersama keluarga dan
anak-anaknya, mau membayar US$5 per orang untuk mengikuti wisata
tambang selama setengah jam?
Karcis
kemudian saya beli, bukan kertas sebagai tanda masuknya melainkan
sebuah tongkat kayu. Barangkali hanya ingin tampil
beda. Saya lalu bergabung dengan para wisatawan domestik
itu (kali ini saya menjadi wisatawan asing). Sebelum masuk ke
dalam kerangkeng (cage) yang akan membawa kami menuruni sumuran
tambang (shaft), sang pemandu wisata menjelaskan dengan sangat
rinci tentang hal ihwal tambang.
Demikian
pula saat kami berada di lorong bawah tanah (tunnel) dan di dalam
lombong (stope), berbagai hal teknis termasuk cara-cara pemboran
dan peledakan dalam pembuatan lorong, peralatan yang digunakan,
sistem penyanggaan, ventilasi, dsb. juga dijelaskannya dengan
fasih. Saya hanya menduga-duga saja, sang pemandu wisata ini
mungkin dulunya bekas miner (buruh tambang).
Akhirnya
setelah naik melewati beberapa tingkat anak tangga, kami tiba
kembali di permukaan melalui mulut tambang yang berbeda dengan
ketika masuknya tadi. Saya perkirakan tadi itu kami hanya berada
sekitar 10-15 meter di bawah permukaan tanah. Tapi itulah
gambaran sederhana tentang sebuah tambang bawah tanah berskala
kecil yang berhasil dipaparkan melalui wisata tambang selama
sekitar setengah jam. Pengunjung tampak puas, anak-anakpun
gembira memperoleh pengalaman baru.
Meninggalkan
tempat ini saya berjalan melewati beberapa peralatan kuno yang
dipajang di sana, diantaranya ada mesin pemboran (rock drill),
kereta tambang (mine car) dan relnya, mesin pemboran inti
(diamond drill), dsb, hingga saya tiba di sebuah bangunan toko
yang di dalamnya ada museum mini yang menggambarkan sejarah
tambang-tambang di daerah pegunungan Superstition.
Sekeluar
saya dari museum sebenarnya saya berniat untuk segera melanjutkan
perjalanan. Namun saat saya berhenti sejenak di teras museum ini,
saya merasa ragu-ragu untuk melangkah keluar. Sesaat
mondar-mandir di teras bangunan ini sambil pura-pura
memperhatikan struktur bangunan kuno biar tidak tampak seperti
orang bingung. Saya merasa masih ada yang mengganjal di pikiran :
Lha, tambangnya di mana?
Kemudian
saya putuskan untuk masuk kembali ke museum dan menjumpai seorang
wanita setengah tua, satu-satunya petugas yang ada di situ.
Pertanyaan singkat saya ajukan : Apakah tempat ini dulunya
sebuah kota tambang?. Dan jawab wanita itu : Bukan,
semua yang ada di sini adalah replika dari sebuah kota tambang
jaman dulu. Termasuk wisata tambang?, tanya
saya lagi. Ya, jawabnya.
Dalam
hati saya berkata : Lha rak tenan (benar,
kan), pantesan tadi masuk ke tambang bawah tanah kok
tidak perlu memakai topi pengaman (hard hat). Pinter-pinternya
orang cari duit. Sebuah kepintaran yang layak ditiru.
Si
ibu petugas itu lalu melanjutkan penjelasannya bahwa dulu di
daerah ini memang ada puluhan usaha pertambangan, dan tempat ini
adalah hasil rekonstruksi dari sebuah kota tambang Old Mammoth.
Kota tambang yang telah ditinggalkan sehingga menjadi kota hantu.
Satu diantara nama tambang yang hingga kini sangat melegenda dan
penuh misteri adalah Lost Dutchman Mine. Penjelasan si ibu ini
memang telah membuat ganjalan pikiran saya sedikit terobati,
meskipun inti pertanyaan saya sebenarnya belum terjawab.
***
Itulah,
satu contoh kecil saja dari hasil sebuah kerja professional. Saya
sangat yakin bahwa mereka yang ngurusi tempat wisata ini
bukan berasal dari kalangan orang-orang yang bergelar
kesarjanaan. Terlepas dari apakah penilaian saya ini benar atau
salah, yang pasti adalah bahwa mereka punya pengetahuan dan
kebanggaan akan daerahnya, punya ketrampilan, punya naluri untuk
bekerja keras, dan punya komitmen yang tinggi untuk
menyelamatkan kisah masa lalu desa mereka melalui
media bisnis yang menguntungkan. Halal, lagi. Memang, sebuah
kepintaran yang layak ditiru.- (Bersambung)
Yusuf
Iskandar
Pegunungan Superstition
Rumah hasil
rekonstruksi di sebuah bekas bekas kota tambang di Goldfield